Well, postingan kali ini bukanlah postingan jalan-jalan yang sering
saya share di blog saya, juga bukan tulisan-tulisan cheesy ataupun cerpen-cerpen galau yang seringkali menjadi ciri
khas saya menulis. Anyway, ini juga
bukan curhatan, cuma beberapa hal yang mengganjal dipikiran saya tentang
masalah-masalah wanita yang mendekati first
quarter atau seperempat abad namun masih belum menikah. Sesuai dengan
judul blog ini “my word is my universe”
jadi isinya memang tidak melulu tentang jalan-jalan karena saya bukanlah travel blogger yang serius (atau mungkin
belum).
Being twenty something actually is not a problem at all when you still haven’t
decided to marry someone yet. Banyak kok orang yang berumur above thirty juga masih belum menikah. Banyak
diantara mereka yang memang sengaja menunda, salah satunya masih mementingkan
pekerjaan. Namun ini juga bukan merupakan pembenaran untuk menunda menikah
karena menurut medical explanation
juga wanita mendekati 40 riskan untuk hamil.
Sebagai auditor yang notabene
ritme kerjanya yang mobile serta
keseringan lembur disaat high season kadang memang membuat saya lupa memikirkan
hal-hal tersebut. Banyak pertanyaan yang mungkin sudah bosan saya dengar
diantaranya;
“Kerja mulu, kapan kawin?”
“Kalau keluar kota terus kapan
bisa pacaran?”
“Lembur mulu deh, gimana tar kalo
udah berkeluarga?”
“Udah umur segini, ga kepikiran
buat nikah?”
Potongan-potongan pertanyaan di atas
mungkin masih sebagian. Banyak lagi pertanyaan yang intinya sama saja, yaitu
berhadapan dengan dua pilihan kerja atau menikah. Nah, berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan tadi saya menyimpulkan kira-kira apa yang saya pikirkan
hingga diumur 23 yang sedikit lagi 25 namun masih mementingkan pekerjaan.
Sebagai wanita normal tentu saja
saya menginginkan memiliki kehidupan layaknya wanita-wanita yang sudah menikah.
Mempunyai suami dan mengurus anak-anak tentu saja impian semua wanita. Namun,
untuk waktu kenapa sampai sekarang belum? Menurut saya menikah itu bukan
perkara gampang. Saya tidak mau menikah hanya karena orang-orang disekitar saya
termasuk teman-teman dekat yang berlomba-lomba sebar udangan ataupun karena
tuntutan orang tua. Bayangkan, menikah, mencari partner seumur hidup that you are gonna spend the rest of your
life, the last one you see before sleep and the first one you see when you wake
up dan yang pasti sama-sama sudah tau baik buruk masing-masing. No wonder memang banyak teman-teman saya
bilang saya terlalu “picky” gara-gara
alasan klise saya.
Kenapa tetap memilih pekerjaan? Tentu
saja untuk membiayai hidup, belajar mandiri sehingga tidak perlu bergantung ke
orang tua. Dari sinipun one of my close
friend ever said “Lo tu terlalu mandiri, apa-apa bisa sendiri, kemana-mana
bisa sendiri, lama-lama juga lo ga butuh cowok buat bergantung?”
Buat pertanyaan begini memang
menyebalkan, pertama, emang fungsi laki-laki hanya untuk menggantungkan hidup? Yang
kedua tidak semua kebutuhan bisa dipenuhi sendiri let’s say yang paling realistis “biological needs” yakali gabutuh cowok.
Pertanyaan-pertanyan diatas juga
sebenarnya endless question,
siklusnya sudah pasti sama.
"Kapan nikah?" Setelah menikah
tentu akan muncul kembali pertanyaan "kapan punya anak?" Dan dilanjutkan; "udah punya
anak kok masih kerja?? kasian anaknya" atau "sudah punya anak kok gamau kerja lagi? kasian ijazahnya!!" Dan seterusnya dan seterusnya…… inilah kenapa saya tidak
terlalu ambil pusing dengan omongan orang-orang sekitar. Ya balik lagi pilihan
ada ditangan masing-masing mau menikah buru-buru atau kerja dulu.
No comments:
Post a Comment