A S A P
December 22, 2011
11:27 pm
(Diatas sebuah sofa pada malam dingin tanpa angin)
Aku suka memainkan asap, asapnya putih, putih sekali.
Menari-nari tanpa bentuk di depan mataku. Melayang menembus dan menyusup
dirambutku. Mulutku berasap, hidungku mengeluarkan asap. Asapnya indah, indah
sekali. Menyapaku yang berdiam duduk terpaku disandaran. Kemudian asap-asap itu terus pergi mengikuti arah angin, terus terus terus dan terus menjauh.
Kemudian hilang, lenyap tanpa meninggalkan berkas apapun. Lenyap pergi terus
menjauhiku, berawal dari kepulan yang menggunung, perlahan menipis dan terus
menipis setipis tipisnya tipis. Tiba-tiba asapnya datang lagi, namun tak lagi
putih. Asapnya kuning. Entahlah kenapa tiba tiba kuning. Asap kuning itu terus
merayuku. Aku terpental jatuh karna asap itu menamparku, menusuk tulang dadaku,
menyusui bibirku.
Seperti sukanya aku memainkan hati. Hatiku putih, sangat
putih. Hatiku menyanyi dan terus melantunkan indahnya alunan melodi tentang
mimpi. Mengayun dan menyusuri indahnya hidup yang tak bertepi. Namun tiba-tiba
hati itu berjalan tanpa mata. Pergi karena hatiku tuli, tak mau mendengar
bibirku berucap, tak mau mengikuti otakku bersabda. Kemudian hati itu jatuh,
jatuh pada satu jiwa yang halus, sangat halus sehalus halusnya halus. Jatuhnya
maha dahsyat. Meronta dan merintih kesakitan. Hingga kemudian hati itu luluh
lantak menerjang. Menjadi tak berbentuk, makin halus membentuk
kepingan-kepingan abstrak, tak jelas seperti tak berbentuknya asap itu. Dan
hatiku terbakar dengan api yang aku buat sendiri, hatiku berubah bentuk menjadi
asap yang kembali menari-nari di depanku. Pergi, jauh hilang dan sampai
sekarang aku tak menemukan hatiku dimana.
Disini aku berteriak tanpa hati. Dimanakah hati itu
sekarang? Bertanya-tanya sendiri. Apakah dia mengikuti asap yang pergi terbang
bersama angin. Ah angin,kau jahat sekali. Kau membawa pergi asapku, dan kau
meniup hatiku untuk terbang bersamamu. Angin juga tak berbentuk. Aku tak bisa
melihat angin, aku hanya bisa merabanya. Dingin, membeku dan membelai kulitku.
Tapi aku tak pernah membenci angin. Karena angin membawa udara untukku
bernafas, untukku mengisi ronga-rongga kopong didadaku. Angin jugalah yang
membawa kesejukan disaat mataku panas ingin menangis, disaat air mataku meronta
ingin segera keluar. Diluar, air mata yang mengalir dipipiku juga dilenyapkan
angin. Ada apa dengan angin? Semua yang aku punya dibawa angin.
Rambutku berair,aku merasakan ada aliran menyusup
dirambutku. Ternyata disana ada asap yang berganti uap air. Asap itu tak pergi
kemana-mana. Ternyata aku salah menilai angin. Angin tak membawa pergi asapku.
Dia hanya bersembunyi dirambutku, dia lelah sangat lelah menari. Maafkan aku
angin. Aku berprasangka buruk. Aku telah menuduh angin.. terampas tapi ingin
pergi sendiri. Aku menyapa asa tak berbentuk. Aku menumukan asapku. Tapi dimanakah
hatiku? Kemudian aku berdiri dari sandaranku, merangkak keluar melihat bintang.
Aku melihat sinar pustih yang sepertinya kukenal. Oh tidak, rupanya itu hatiku
yang hilang, ternyata bintanglah yang jahat. Dia membawa pergi hatiku, melonjak
girang meneriakiku dari sana. Sekali lagi aku merasa bersalah pada angin,
maafkan aku. Aku kembali merangkak masuk, biarkanlah bintang bahagia disana.
Aku tak peduli lagi walaupun aku harus hidup tanpa hati. Karena aku juga hanya
bangkai tanpa jiwa, segumpal tulang yang dibalut daging tanpa kulit. ASAP,
ANGIN DAN HATI.