Aku bernyanyi, aku bersenandung ketika awan mendung
menghantui bagai sihir yang meniup hujan untuk turun. Aku merenung menatap
hampa pada gunung yang menjulang. Menitipkan sebuah harapan pada langit. Masih
bisakah aku meminta langit untuk tetap biru. Sedangkan ombak mulai memanas
menghempas karang yang hampir kandas. Bibirku pucat tanpa pias, berbasa-basi
untuk hanya sekedar berucap. Aku terlelap, dan terhanyut pasir yang
menenggelamkanku. Senandungku mulai hilang, nyanyianku mulai redup. Terbawa
senja yang gugup menatap. Perlahan senja mulai datang membisikkan nanyian malam
burung hantu yang baru keluar dari sarang. Aku terpaku, aku layu dan aku mati.
Kematian membawaku pada sebuah lorong-lorong sempit. Dimana
disana hanya ada aku dan harapan. Mimpipun takut mendekat seolah tak bisa
menyentuh. Tak seorangpun tahu aku mati. Tak seorangpun sadar aku pergi. Karena
memang selama ini aku tak terlihat. Aku bukan apa-apa dan aku bukan
siapa-siapa. Aku hanya aku. Aku hanyalah sebuah sajak yang bersenandung dikala hujan.
Mereda saat gerimis dan cahaya beradu membiaskan warna indah di kaki langit.
Dan akupun melintasi kaki langit itu. Itulah yang disebut-sebut orang pelangi.