Aku bernyanyi, aku bersenandung ketika awan mendung
menghantui bagai sihir yang meniup hujan untuk turun. Aku merenung menatap
hampa pada gunung yang menjulang. Menitipkan sebuah harapan pada langit. Masih
bisakah aku meminta langit untuk tetap biru. Sedangkan ombak mulai memanas
menghempas karang yang hampir kandas. Bibirku pucat tanpa pias, berbasa-basi
untuk hanya sekedar berucap. Aku terlelap, dan terhanyut pasir yang
menenggelamkanku. Senandungku mulai hilang, nyanyianku mulai redup. Terbawa
senja yang gugup menatap. Perlahan senja mulai datang membisikkan nanyian malam
burung hantu yang baru keluar dari sarang. Aku terpaku, aku layu dan aku mati.
Kematian membawaku pada sebuah lorong-lorong sempit. Dimana
disana hanya ada aku dan harapan. Mimpipun takut mendekat seolah tak bisa
menyentuh. Tak seorangpun tahu aku mati. Tak seorangpun sadar aku pergi. Karena
memang selama ini aku tak terlihat. Aku bukan apa-apa dan aku bukan
siapa-siapa. Aku hanya aku. Aku hanyalah sebuah sajak yang bersenandung dikala hujan.
Mereda saat gerimis dan cahaya beradu membiaskan warna indah di kaki langit.
Dan akupun melintasi kaki langit itu. Itulah yang disebut-sebut orang pelangi.
Pelangi itu menyadarkanku, membangunkanku untuk segera
melintasi dan menaiki anak tangga langit. Meniti dan berjalan pelan menuju
surga. Aku berjalan terus berjalan meniti anak tangga langit, tangan-tangan
tuhan menuntunku. aku meraba pelan aku buta arah. aku takut aku kehilangan
arah. aku ingin kembali. Berbalik menuruni tangga langit.
Langit memang tak pernah ada, langit hanyalah dongeng.
Cerita anak manusia yang tidak pernah tau untuk apa gunanya membual. Langit
biru, dan biru itu hanya warna. Aku ingin menemui langit, terbang keatas
terbawa arah angin.
Suatu hari aku berjalan berdampingan dengan angin. Angin
menyentuhku, meniup lembut pipiku. Membisikkan sesuatu ditelingaku. Tapi aku
tak tahu apa maknanya. Aku tak mengerti bisikannya. Aku tak peduli apa yang dia
katakan. Karena aku tuli. Aku tak punya telinga. Sudah kubilang aku hanyalah
sajak yang bersenandung dikala hujan.
Dan hujan adalah sihir, aku tersihir oleh hujan. Aku hanya
mau bernyanyi disaat hujan turun. Aku mencintai hujan. Namun hujan tak mungkin
ada kalau awan tak beranak. Awan-awan itu harus segera kawin. Melahirkan hujan
yang menetas disaat awan itu hancur.
Suatu senja disaat awan bewarna jingga, aku terpukau
keindahannya terpancar begitu silau. Sinar matahari dikaki barat langit
membiaskan jingga itu. Jinga itu menatapku. Aku malu, ah aku tak mau ditatap
begitu. Senja memang aneh, aku juga mencintai senja seperti aku mencintai
hujan. Temaram senja itu menggodaku.
Aku tergoda dan bersimpuh di padang ilalang. Ilalang itu
bergoyang seolah tak menginginkanku. Aku berlari mengejar senja ke barat.
Seolah setiap detik adalah senja. Seolah setiap waktu yang berlalu adalah
senja. Dan hujan tetaplah sihir yang mematikan yang membuatku mati terkapar,
terlentang pasrah menunggui senja dan berlari mengejar waktu.
Desember 31, 2013
12:24 am
Aku memaknai hujan bagai sihir
Wangi hujan memukauku
Rintik hujan menghanyutkanku
Dan nyanyian hujan melumpuhkanku
Hey angin..
Jika kau bertemu hujan malam ini
Sampaikan padanya aku rindu
Denpasar,
28 November 2013
-GabriellaMelisa-
Lukisan Tuhan di Saat Hujan yang Saya Tangkap Dari Kaca Jendela di Beberapa Kota
Tukad Badung Denpasar November 2013 |
Medan Oktober 2013 |
Pekanbaru November 2013 |
Medan Oktober 2013 |
Denpasar November 2013 |
Medan Oktober 2013 |
Hujan yang mulai mereda Solok November 2013 |
No comments:
Post a Comment