Friday, July 4, 2014

Edelweis

Angin berhembus lembut siang itu. Semua keluargaku berkumpul. Sebentar lagi tepatnya sore ini tepat dihari ulang tahunku aku dan Akasia akan melangsungkan pernikahan disini. Di Danau Talang, yang merupakan salah satu Surga tersembunyi di gunung tersebut. Awalnya seperti mimpi yang pernah ku tulis, aku ingin melangsungkan janji suci itu di gunung talang, namun karena kondisi fisikku yang semakin lama semakin menurun akhirnya kami sekeluarga setuju untuk melangsungkan pernikahanku di Danau Talang saja. Aku memang meminta untuk mengikrarkan janji pernikahan di sore hari hingga bersambut senja. Dan malamnya dilanjutkan dengan resepsi sederhana yang berkonsep Garden Party. Aku Cuma mengundang beberapa teman dekat dan keluarga dekatku serta beberapa rekan kerja papa.
            Semua sudah tertata dengan baik, salah satu tempat dipinggir danau yang menjadi lokasi pernikahanku di setting sedemikian rupa. Wedding Organizer yang kami sewa benar-benar melakukan tugas mereka dengan baik. Di pinggir dermaga terdapat sebuah saung yang ditengahnya telah disiapkan sebuah meja tempat akadku dilaksanakan. Dipinggir sebelah kiri meja-meja dan kursi sudah disiapkan untuk tamu undangan. Dipinggir kanan terdapat meja-meja yang nantinya akan disajikan makanan untuk tamu undangan. Dipinggir danau terdapat beberapa piring yang mengapung yang sudah diisi lilin yang nantinya akan dinyalakan saat malam. Di ujung dermaga terdapat sebuah perahu yang juga sudah didekorasi sedemikian rupa. Nuansa hijau pegunungan dipadukan dengan putih disetiap dekorasi dan juga merupakan dresscode untuk malam ini menghadirkan keindahan tersendiri bagiku.


            Danau ini memang seperti surga tersembunyi karena memang terletak agak jauh dari perkampungan penduduk. Dipinggir danau juga masih banyak terdapat batu-batu besar yang merupakan sisa letusan gunung talang sebelumnya. Pohon cemara yang menari indah disekitar membuat suasana semakin damai.
            Awalnya agak sedikit susah untuk mendapatkan izin untuk melangsungkan acara disini, karena danau ini sendiripun masih begitu sakral dan masih jarang tersentuh. Penduduk sekitar memang begitu menjaga keasrian danau terbukti dengan tidak ditemukannya satupun sampah di tempat ini. Danau ini konon sangat dalam sehingga tidak banyak yang mau memancing disini. Cuma ada beberapa warga yang mencari ikan disini setiap harinya. Berkat kegigihan papa meyakinkan penduduk akhirnya kamipun mendapatkan izin dengan syarat setelah selesai acara tidak akan ada sampah bertebaran. Kamipun setuju.
            Udara pegunungan yang sejuk membuatku merasa nyaman. Semua orang berlalu lalang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dari jauh aku memperhatikan Akasia berdiri mematung di ujung dermaga, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan saat ini. Aku tahu dia masih terpukul dengan semua yang menimpaku. Setelah menghilang beberapa lama dan saat dia kembali, dia menemukanku sekarat. Selama dua bulan dia menemaniku tanpa lengah sedikitpun. Bagiku dia sudah kembali itu sudah cukup, ditambah lagi hari ini kami akan melangsungkan pernikahan dan itu bagiku sudah sangat cukup. Tapi aku tahu dia masih belum bisa menerima sepenuhnya apa yang terjadi pada kami. Aku membiarkan dia sendiri dengan pikirannya.
            Ibu Akasia, mama dan nenek sedang asyik menata makanan. Papa dan om Kevin sedang berbincang-bincang di salah satu sudut meja. Aku melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah mereka.
            “Edelweis, sini ganti baju sama mau aku make up-in dulu. Udah mau sore nih nanti nggak keburu loh” Andrea setengah berlari menghampiriku yang sedari tadi terduduk disalah satu batu besar di pinggir danau.
            Aku mengikuti Andrea menuju sebuah ruangan yang sudah disiapkan untuk keperluan berganti baju. Aku gamang, aku gugup, sebentar lagi aku akan menjadi seorang istri.
            “Dre, aku takut”
            “Takut kenapa sayang?”
            “Aku belum siap Dre”
            “Edelweis aku tahu kamu pasti gugup banget, tapi ini wajar kok karena sebentar lagi kamu akan mengalami hal terindah yang semua orang pasti mengalaminya”
            “Duh, kamu pucet banget Edel. Kamu baik-baik aja kan? Pokoknya tenang, kamu tenangin pikiran. Keep thinking everything will be alright. Okay” Andrea menenangkanku.
            Aku menghembuskan nafas perlahan.
            “Okay”
            Andrea membantuku mengganti baju yang dari tadi aku kenakan dengan sebuah gaun putih yang panjangnya seperti menyapu lantai. Gaun putih berbahan satin dengan lengan panjang dan bagian depan sedikit rendah dengan kedua ujung terbuka sehingga memperlihatkan bahuku yang semakin kurus. Bahan satin gaun tersebut sangat halus sehingga akan bergoyang-goyang ditiup angin. Badanku yang cukup tinggi semakin memperlihatkan kesan kurus yang memang tidak bisa lagi ditutupi. Rambut lurus panjangku dengan belahan ditengah aku biarkan diurai menutupi bagian belakang gaun yang terbuka. Bebrapa helai rambut dari kedua ujung rambutku bagian depan diikatkan kebelakang. Lipstik merah muda yang tidak begitu menyala sedikit menutupi bibir tipisku yang semakin pucat. Dengan riasan sedikit eye shadow dan blush on sedikit menghilangkan kesan suram dimukaku. Aku tersenyum melihat bayangan tubuhku di kaca.
            “Edel, kamu cantik banget hari ini”
            Andrea tulus memujiku. Andrea memang maksimal membantuku saat ini.
            Perlahan aku keluar, Andrea membantu mengangkat ujung gaunku yang menyapu tanah sehingga tidak kotor.
            Aku menatap sekeliling, beberapa orang sudah siap berganti pakaian. Dari jauh aku melihat Satrio yang juga aku undang perlahan menghampiriku. Senyum dari wajahnya tidak dapat menyembunyikan getir yang dia rasakan. Aku kembali merasa bersalah.
            “Edelweis, kamu cantik”
            “Makasih kak Satrio”
            “Aku punya sesuatu untukmu”
            Satrio memperlihatkan sesuatu yang dari tadi digenggamnya. Sebuah mahkota berbentuk lingkaran yang terbuat dari kumpulan bunga Edelweis yang disatukan dengan kawat. Satrio meletakkannya di atas kepalaku.
            “Sempurna” Hanya itu yang di ucapkannya.
            “Kak, Makasih banyak yaa udah mau datang”
            “Sama-sama Edelweis, semoga kamu bahagia selalu dengan Akasia”
            “Iya kak, semoga kakak juga segera bertemu dengan seseorang yang bisa bikin kakak bahagia”    
            “Segera Edelweis” Kemudian dia berlalu dan bergabung dengan beberapa tamu lain.
            Aku berjalan sendirian menuju dermaga, Akasia masih berdiri disana. Namun kali ini dia sudah berganti pakaian. Celana panjang putih gading, kemeja putih dengan jas putih gading yang dikenakannya membuatnya semakin menawan. Aku memeluk Akasia dari belakang. Akasia membiarkanku beberapa lama memeluknya hingga akhirnya dia berbalik badan. Aku menatap setiap seluk beluk diwajahnya. Bibir tipisnya, hidung mancungnya, serta tatapannya yang tajam yang dihiasi oleh bulu mata yang panjang namun jatuh kebawah, serta alis tebalnya yang sempurna. Rambut lurusnya yang selalu rapi dan selalu dipotong pendek, serta bulu-bulu halus disekitar wajahnya yang berwarna sawo matang. Dia menatapku sendu kemudian memelukku. Lengannya yang kokoh memapah tubuhku yang semakin ringkih. Tak ada satupun kata yang terlontar dari bibir kami. Sunyi.
            Hari semakin beranjak petang, semua persiapan sudah rampung. Tibalah saatnya kami akan mengikrarkan janji suci dalam sebuah ikatan yang diberi nama pernikahan. Aku semakin gugup dan kembali pusing menyerangku. Namun aku sekuat tenaga berusaha menahannya.
            “Saya terima nikahnya Edelweis Darmawan Binti Riski Darmawan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai”
            Dengan lantang Akasia melantunkan Ijab Kabul dihadapan semua undangan. Riak danau dan suara binatang malam yang akan keluar dari sarang sebagai musik pengantar janji suci kami.
            Semua orang berkata sah. Aku merasakan sesuatu bercampur aduk yang dengan ganas mengaduk-aduk rongga dadaku. Semua orang menatapku dan menangis haru. Aku membalas tatapan mereka semua dengan senyum yang semua orang merasakan senyum yang paling bahagia yang bisa aku berikan selama ini. Mama, Papa, Nenek, Om Kevin, Ibu Akasia beserta Andrea dan Dana bergantian memelukku.
            “Sayang, kamu sekarang udah punya kehidupan baru. Semoga ini semua membuatmu bisa bertahan lama Edel. Mama, Papa, dan semua orang disini bahagia sekali. Bahagia sekali sayang” Mama mendekapku lama.
            Setelah menyalami semuanya, aku dan Akasia bertolak ke Dermaga. Kami berjalan bergandengan, perlahan menuju dermaga. Gaun putih berbahan satin yang aku kenakan bergoyang-goyang ditiup angin. Rambutku yang teruraipun dimainkan angin dengan lembut, mahkota dari bunga Edelweis yang diletakkan Satrio dikelapaku juga masih ada disana.
            “Edelweis, kamu bahagia?”
            “Tentu saja Akasia. Ini seperti mimpi” Ya, tentu saja aku sangat bahagia. Bagaimana mungkin aku tidak bahagia setelah apa yang telah aku lewati, Akasia lewati dan semuanya berakhir bahagia disini. Berakhir dengan indah dalam satu ikatan takdir yang bernama pernikahan.
            Akasia terus menuntunku menuju ke ujung dermaga, perahu yang sudah dihias itu kami naiki. Seorang sudah berdiri disana memegang sebuah dayung. Perlahan aku dan Akasia menaiki perahu itu dengan sangat hati-hati. Senja semakin menggoda kami, jingga yang bertebaran dimana-mana mengantarkan matahari bersembunyi dibalik salah satu sisi gunung yang menjulang itu. Lampion yang menyala dipinggir danau menerangi semua orang yang sedang asyik berbincang, entah apa yang mereka bicarakan. Semua terlihat bahagia. Piring-piring yang berisi lilin tadi sudah menyala menambah jingga yang merambah di sekitar danau. Beberapa dari piring itu terbawa arus hingga sedikit ke tengah.
            Perahu kami terus berlayar meninggalkan dermaga. Lelaki paruh baya pemilik perahu itu terus mengayuh perahunya dan membawa kami ke tengah. Aku bersandar didada Akasia. Dia mendekapku erat.
            “Edelweis, aku pernah janji kan untuk mempertemukanmu dengan kunang-kunang? Sebentar lagi kita akan menemui mereka.”
            “Ini benar-benar seperti mimpi Akasia”
            “Edelweis sayang, kamu tidak sedang bermimpi. Kamu ingat janjiku? Aku akan menikahimu, kelak kita akan membangun rumah kayu berlantai dua yang diatasnya terdapat teras yang menghadap keseluruh penjuru mata angin. Aku akan membangunnya untukmu sayang, diatas bukit tempat aku dulu pernah membawamu. Kelak nanti anak-anak kita bisa berlari sepuasnya disana.”
            Aku meneteskan satu persatu air mata yang sedari tadi berusaha aku tahan.
            “Edelweis sayang, sebelum semuanya aku bangun. Sebelum rumah kita jadi kamu harus janji kamu bakal nemenin aku terus. Selamanya sayang. Selamanya” Suara Akasia semakin parau. Aku juga merasakan beberapa tetes air membasahi rambutku. Akasia berulang kali mencium rambutku dan mendekapku semakin erat.
            Aku hanya diam tidak bisa bicara sepatahpun.
            “Edelweis kamu lihat itu? Kamu bisa lihatkan? Inilah mereka Edelweis, kunang-kunang yang dari dulu sering aku ceritakan. Sekarang aku memenuhi janjiku untuk mengenalkanmu pada mereka. Selamat ulang tahun Edelweisku sayang. Seperti namamu, kebahagian akan selalu abadi menyertai kita”
            Sekelompok cahaya itu semakin mendekat kearah kami. Perahu kami berhenti. Lelaki paruh baya yang memegang dayung itu berhenti mengayuh perahunya. Akasia semakin mendekapku erat.
            “Edelweis, kamu bisa lihat kan mereka bahagia melihat kita kembali bersama. Mereka bersinar seperti kita saat ini. Edelweis tetaplah bersinar seperti dulu, jangan biarkan sinarmu redup.”
            “A..ka..sia..A..ka..si..a..” Aku semakin terbata-bata. Antara sesak yang menyesaki dadaku serta sakit kepala yang semakin menjadi-jadi yang membuatku semakin sulit  bernafas. Akasia, mungkin inilah saatnya.
            “Edelweis sayang, tolong ucapkan janjimu. Tolong berjanjilah kamu akan menemaniku terus. Kita akan punya banyak anak hingga bercucu. Setiap hari kita akan melewatkan senja bersama Edelweis. Menunggu fajar dan menghabiskan siang dengan minum teh dan makan kue buatanmu yang paling aku suka. Kita akan melewati itu semua Edelweis, bercengkrama di teras rumah kita yang menghadap kesegala penjuru mata angin. Bukankah itu menyenangkan sayang?” Akasia menangis sambil mencium rambutku. Dia masih mendekapku erat.

            “A..Aka..sia.. Aa..ku.. Men..cin..ta..i..mu” Aku perlahan menghembuskan nafasku. Nafas terakhirku yang berhembus di senja itu. Senja semakin memudar dan aku pulang. Benar-benar pulang bersama kunang-kunang.


No comments:

Post a Comment