Angin berhembus
lembut siang itu. Semua keluargaku berkumpul. Sebentar lagi tepatnya sore ini
tepat dihari ulang tahunku aku dan Akasia akan melangsungkan pernikahan disini.
Di Danau Talang, yang merupakan salah satu Surga tersembunyi di gunung
tersebut. Awalnya seperti mimpi yang pernah ku tulis, aku ingin melangsungkan
janji suci itu di gunung talang, namun karena kondisi fisikku yang semakin lama
semakin menurun akhirnya kami sekeluarga setuju untuk melangsungkan
pernikahanku di Danau Talang saja. Aku memang meminta untuk mengikrarkan janji
pernikahan di sore hari hingga bersambut senja. Dan malamnya dilanjutkan dengan
resepsi sederhana yang berkonsep Garden Party. Aku Cuma mengundang beberapa
teman dekat dan keluarga dekatku serta beberapa rekan kerja papa.
Semua sudah tertata dengan baik,
salah satu tempat dipinggir danau yang menjadi lokasi pernikahanku di setting
sedemikian rupa. Wedding Organizer yang kami sewa benar-benar melakukan tugas
mereka dengan baik. Di pinggir dermaga terdapat sebuah saung yang ditengahnya
telah disiapkan sebuah meja tempat akadku dilaksanakan. Dipinggir sebelah kiri
meja-meja dan kursi sudah disiapkan untuk tamu undangan. Dipinggir kanan
terdapat meja-meja yang nantinya akan disajikan makanan untuk tamu undangan.
Dipinggir danau terdapat beberapa piring yang mengapung yang sudah diisi lilin
yang nantinya akan dinyalakan saat malam. Di ujung dermaga terdapat sebuah
perahu yang juga sudah didekorasi sedemikian rupa. Nuansa hijau pegunungan
dipadukan dengan putih disetiap dekorasi dan juga merupakan dresscode untuk
malam ini menghadirkan keindahan tersendiri bagiku.
Danau ini memang seperti surga
tersembunyi karena memang terletak agak jauh dari perkampungan penduduk.
Dipinggir danau juga masih banyak terdapat batu-batu besar yang merupakan sisa
letusan gunung talang sebelumnya. Pohon cemara yang menari indah disekitar
membuat suasana semakin damai.
Awalnya agak sedikit susah untuk
mendapatkan izin untuk melangsungkan acara disini, karena danau ini sendiripun
masih begitu sakral dan masih jarang tersentuh. Penduduk sekitar memang begitu
menjaga keasrian danau terbukti dengan tidak ditemukannya satupun sampah di
tempat ini. Danau ini konon sangat dalam sehingga tidak banyak yang mau
memancing disini. Cuma ada beberapa warga yang mencari ikan disini setiap
harinya. Berkat kegigihan papa meyakinkan penduduk akhirnya kamipun mendapatkan
izin dengan syarat setelah selesai acara tidak akan ada sampah bertebaran.
Kamipun setuju.
Udara pegunungan yang sejuk
membuatku merasa nyaman. Semua orang berlalu lalang sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Dari jauh aku memperhatikan Akasia berdiri mematung di ujung
dermaga, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan saat ini. Aku tahu dia masih
terpukul dengan semua yang menimpaku. Setelah menghilang beberapa lama dan saat
dia kembali, dia menemukanku sekarat. Selama dua bulan dia menemaniku tanpa
lengah sedikitpun. Bagiku dia sudah kembali itu sudah cukup, ditambah lagi hari
ini kami akan melangsungkan pernikahan dan itu bagiku sudah sangat cukup. Tapi
aku tahu dia masih belum bisa menerima sepenuhnya apa yang terjadi pada kami.
Aku membiarkan dia sendiri dengan pikirannya.
Ibu Akasia, mama dan nenek sedang
asyik menata makanan. Papa dan om Kevin sedang berbincang-bincang di salah satu
sudut meja. Aku melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah mereka.
“Edelweis, sini ganti baju sama mau
aku make up-in dulu. Udah mau sore nih nanti nggak keburu loh” Andrea setengah
berlari menghampiriku yang sedari tadi terduduk disalah satu batu besar di
pinggir danau.
Aku mengikuti Andrea menuju sebuah
ruangan yang sudah disiapkan untuk keperluan berganti baju. Aku gamang, aku
gugup, sebentar lagi aku akan menjadi seorang istri.
“Dre, aku takut”
“Takut kenapa sayang?”
“Aku belum siap Dre”
“Edelweis aku tahu kamu pasti gugup
banget, tapi ini wajar kok karena sebentar lagi kamu akan mengalami hal
terindah yang semua orang pasti mengalaminya”
“Duh, kamu pucet banget Edel. Kamu
baik-baik aja kan? Pokoknya tenang, kamu tenangin pikiran. Keep thinking
everything will be alright. Okay” Andrea menenangkanku.
Aku menghembuskan nafas perlahan.
“Okay”
Andrea membantuku mengganti baju yang
dari tadi aku kenakan dengan sebuah gaun putih yang panjangnya seperti menyapu
lantai. Gaun putih berbahan satin dengan lengan panjang dan bagian depan
sedikit rendah dengan kedua ujung terbuka sehingga memperlihatkan bahuku yang
semakin kurus. Bahan satin gaun tersebut sangat halus sehingga akan
bergoyang-goyang ditiup angin. Badanku yang cukup tinggi semakin memperlihatkan
kesan kurus yang memang tidak bisa lagi ditutupi. Rambut lurus panjangku dengan
belahan ditengah aku biarkan diurai menutupi bagian belakang gaun yang terbuka.
Bebrapa helai rambut dari kedua ujung rambutku bagian depan diikatkan
kebelakang. Lipstik merah muda yang tidak begitu menyala sedikit menutupi bibir
tipisku yang semakin pucat. Dengan riasan sedikit eye shadow dan blush on sedikit
menghilangkan kesan suram dimukaku. Aku tersenyum melihat bayangan tubuhku di
kaca.
“Edel, kamu cantik banget hari ini”
Andrea tulus memujiku. Andrea memang
maksimal membantuku saat ini.
Perlahan aku keluar, Andrea membantu
mengangkat ujung gaunku yang menyapu tanah sehingga tidak kotor.
Aku menatap sekeliling, beberapa
orang sudah siap berganti pakaian. Dari jauh aku melihat Satrio yang juga aku
undang perlahan menghampiriku. Senyum dari wajahnya tidak dapat menyembunyikan
getir yang dia rasakan. Aku kembali merasa bersalah.
“Edelweis, kamu cantik”
“Makasih kak Satrio”
“Aku punya sesuatu untukmu”
Satrio memperlihatkan sesuatu yang
dari tadi digenggamnya. Sebuah mahkota berbentuk lingkaran yang terbuat dari
kumpulan bunga Edelweis yang disatukan dengan kawat. Satrio meletakkannya di
atas kepalaku.
“Sempurna” Hanya itu yang di
ucapkannya.
“Kak, Makasih banyak yaa udah mau
datang”
“Sama-sama Edelweis, semoga kamu
bahagia selalu dengan Akasia”
“Iya kak, semoga kakak juga segera
bertemu dengan seseorang yang bisa bikin kakak bahagia”
“Segera Edelweis” Kemudian dia
berlalu dan bergabung dengan beberapa tamu lain.
Aku berjalan sendirian menuju
dermaga, Akasia masih berdiri disana. Namun kali ini dia sudah berganti
pakaian. Celana panjang putih gading, kemeja putih dengan jas putih gading yang
dikenakannya membuatnya semakin menawan. Aku memeluk Akasia dari belakang.
Akasia membiarkanku beberapa lama memeluknya hingga akhirnya dia berbalik
badan. Aku menatap setiap seluk beluk diwajahnya. Bibir tipisnya, hidung
mancungnya, serta tatapannya yang tajam yang dihiasi oleh bulu mata yang
panjang namun jatuh kebawah, serta alis tebalnya yang sempurna. Rambut lurusnya
yang selalu rapi dan selalu dipotong pendek, serta bulu-bulu halus disekitar wajahnya
yang berwarna sawo matang. Dia menatapku sendu kemudian memelukku. Lengannya
yang kokoh memapah tubuhku yang semakin ringkih. Tak ada satupun kata yang
terlontar dari bibir kami. Sunyi.
Hari semakin beranjak petang, semua
persiapan sudah rampung. Tibalah saatnya kami akan mengikrarkan janji suci
dalam sebuah ikatan yang diberi nama pernikahan. Aku semakin gugup dan kembali
pusing menyerangku. Namun aku sekuat tenaga berusaha menahannya.
“Saya terima nikahnya Edelweis
Darmawan Binti Riski Darmawan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar
tunai”
Dengan lantang Akasia melantunkan Ijab
Kabul dihadapan semua undangan. Riak danau dan suara binatang malam yang akan
keluar dari sarang sebagai musik pengantar janji suci kami.
Semua orang berkata sah. Aku
merasakan sesuatu bercampur aduk yang dengan ganas mengaduk-aduk rongga dadaku.
Semua orang menatapku dan menangis haru. Aku membalas tatapan mereka semua
dengan senyum yang semua orang merasakan senyum yang paling bahagia yang bisa
aku berikan selama ini. Mama, Papa, Nenek, Om Kevin, Ibu Akasia beserta Andrea
dan Dana bergantian memelukku.
“Sayang, kamu sekarang udah punya
kehidupan baru. Semoga ini semua membuatmu bisa bertahan lama Edel. Mama, Papa,
dan semua orang disini bahagia sekali. Bahagia sekali sayang” Mama mendekapku
lama.
Setelah menyalami semuanya, aku dan
Akasia bertolak ke Dermaga. Kami berjalan bergandengan, perlahan menuju
dermaga. Gaun putih berbahan satin yang aku kenakan bergoyang-goyang ditiup
angin. Rambutku yang teruraipun dimainkan angin dengan lembut, mahkota dari
bunga Edelweis yang diletakkan Satrio dikelapaku juga masih ada disana.
“Edelweis, kamu bahagia?”
“Tentu saja Akasia. Ini seperti
mimpi” Ya, tentu saja aku sangat bahagia. Bagaimana mungkin aku tidak bahagia
setelah apa yang telah aku lewati, Akasia lewati dan semuanya berakhir bahagia
disini. Berakhir dengan indah dalam satu ikatan takdir yang bernama pernikahan.
Akasia terus menuntunku menuju ke
ujung dermaga, perahu yang sudah dihias itu kami naiki. Seorang sudah berdiri
disana memegang sebuah dayung. Perlahan aku dan Akasia menaiki perahu itu
dengan sangat hati-hati. Senja semakin menggoda kami, jingga yang bertebaran
dimana-mana mengantarkan matahari bersembunyi dibalik salah satu sisi gunung
yang menjulang itu. Lampion yang menyala dipinggir danau menerangi semua orang
yang sedang asyik berbincang, entah apa yang mereka bicarakan. Semua terlihat
bahagia. Piring-piring yang berisi lilin tadi sudah menyala menambah jingga
yang merambah di sekitar danau. Beberapa dari piring itu terbawa arus hingga
sedikit ke tengah.
Perahu kami terus berlayar meninggalkan
dermaga. Lelaki paruh baya pemilik perahu itu terus mengayuh perahunya dan
membawa kami ke tengah. Aku bersandar didada Akasia. Dia mendekapku erat.
“Edelweis, aku pernah janji kan
untuk mempertemukanmu dengan kunang-kunang? Sebentar lagi kita akan menemui
mereka.”
“Ini benar-benar seperti mimpi
Akasia”
“Edelweis sayang, kamu tidak sedang
bermimpi. Kamu ingat janjiku? Aku akan menikahimu, kelak kita akan membangun
rumah kayu berlantai dua yang diatasnya terdapat teras yang menghadap keseluruh
penjuru mata angin. Aku akan membangunnya untukmu sayang, diatas bukit tempat
aku dulu pernah membawamu. Kelak nanti anak-anak kita bisa berlari sepuasnya
disana.”
Aku meneteskan satu persatu air mata
yang sedari tadi berusaha aku tahan.
“Edelweis sayang, sebelum semuanya
aku bangun. Sebelum rumah kita jadi kamu harus janji kamu bakal nemenin aku
terus. Selamanya sayang. Selamanya” Suara Akasia semakin parau. Aku juga
merasakan beberapa tetes air membasahi rambutku. Akasia berulang kali mencium
rambutku dan mendekapku semakin erat.
Aku hanya diam tidak bisa bicara
sepatahpun.
“Edelweis kamu lihat itu? Kamu bisa
lihatkan? Inilah mereka Edelweis, kunang-kunang yang dari dulu sering aku
ceritakan. Sekarang aku memenuhi janjiku untuk mengenalkanmu pada mereka. Selamat
ulang tahun Edelweisku sayang. Seperti namamu, kebahagian akan selalu abadi
menyertai kita”
Sekelompok cahaya itu semakin
mendekat kearah kami. Perahu kami berhenti. Lelaki paruh baya yang memegang
dayung itu berhenti mengayuh perahunya. Akasia semakin mendekapku erat.
“Edelweis, kamu bisa lihat kan
mereka bahagia melihat kita kembali bersama. Mereka bersinar seperti kita saat
ini. Edelweis tetaplah bersinar seperti dulu, jangan biarkan sinarmu redup.”
“A..ka..sia..A..ka..si..a..” Aku
semakin terbata-bata. Antara sesak yang menyesaki dadaku serta sakit kepala
yang semakin menjadi-jadi yang membuatku semakin sulit bernafas. Akasia, mungkin inilah saatnya.
“Edelweis sayang, tolong ucapkan
janjimu. Tolong berjanjilah kamu akan menemaniku terus. Kita akan punya banyak
anak hingga bercucu. Setiap hari kita akan melewatkan senja bersama Edelweis.
Menunggu fajar dan menghabiskan siang dengan minum teh dan makan kue buatanmu
yang paling aku suka. Kita akan melewati itu semua Edelweis, bercengkrama di teras
rumah kita yang menghadap kesegala penjuru mata angin. Bukankah itu
menyenangkan sayang?” Akasia menangis sambil mencium rambutku. Dia masih
mendekapku erat.
“A..Aka..sia.. Aa..ku..
Men..cin..ta..i..mu” Aku perlahan menghembuskan nafasku. Nafas terakhirku yang
berhembus di senja itu. Senja semakin memudar dan aku pulang. Benar-benar
pulang bersama kunang-kunang.
No comments:
Post a Comment