Selamat Jalan, Senja
Malang, 20 Juli 2013
06:01 Pm
Suatu ketika dikala senja membabi buta dengan jingga
Kita beradu tatap dalam diam pertanda senyap
Kau menatapku dalam, diujung tatapmu aku menyelam
Hari itu tidak ada kata yang sanggup melompat
Semua tertahan, hanya tertelan
Kita memupuk ragu, semua tertuang dalam bisu
Senja itu di beranda, semesta memberikan pertanda
Bahwa perpisahan, tak mungkin lagi terelakkan
Bahwa kepergian, memang sudah membuka jalan
Aku tak sanggup berbicara, kaupun tak menyuarakan kata
Semua terbagi dalam sepi, hingga senja tak lagi berapi
Kemudian aku berpaling, kaupun semakin hening
Aku mencari cara dimana masa berhenti berkelana
Hingga waktu tiba-tiba mati, dan kita pun akan tetap seperti ini
Bersatu, saling menggenggam membunuh waktu
Berdua, hingga sunyi tak lagi memberi makna
Kemudian kau berdiri, pertanda kau harus segera pergi
Ingin sekali aku menahanmu, namun semesta telah menjemputmu
Ingin sekali aku mengejar, namun sakit yang sedari tadi kutahan tetiba
menjalar
Tanpa kata kau menjauh
Dan aku hanya bisa menatap punggungmu yang rapuh
Mungkin memang sebaiknya begini
Tidak ada kata pisah yang membuat pipiku basah
Tidak ada janji untuk kembali yang membuatku terus menanti
Selamat jalan, kata yang tadi tertahan akhirnya kuucapkan
Aku tahu kau tak mendengar, namun hatimu pasti sadar
Mungkin suatu saat kau ingat jalan pulang
Mungkin suatu saat aku mencarimu dan berjuang
Namun tidak saat ini, tidak di senja ini
Arinda
Aku membaca berulang-ulang
puisi yang tertulis di salah satu sudut halaman Koran yang sudah kusam itu.
Tidak salah lagi, penulis puisi itu adalah Arinda. Arindaku. Dan tentu saja
puisi itu tertuju untukku, senja.
Kembali lagi ingatanku
melayang dua tahun yang lalu, disaat aku dan Arinda memutuskan untuk mengakhiri
hubungan kami, bukan.. bukan mengakhiri. Lebih tepatnya membiarkan jarak untuk
menemui jeda sesaat. Aku pergi meninggalkan Arinda karena kesempatan untuk
melanjutkan kuliahku di Inggris. Aku mendapatkan beasiswa berkat kegigihanku,
dan untuk itu aku mengorbankan kebersamaan kami yang sudah bertahun-tahun
lamanya. Aku sudah tidak lagi menghitung berapa lama aku bersamanya, yang aku
tahu dari saat pertama kali aku mengenal apa yang namanya cinta pada Arindalah
semuanya bermuara.
Hari ini adalah hari
kepulanganku. Sudah tidak sabar rasanya aku ingin memeluk Arinda. Membayangkan
dia menantiku di beranda rumahnya dengan senyumnya yang melelehkanku. Dua
tahun, waktu yang cukup lama untuk berpisah dengannya, tanpa komunikasi karena
itulah yang dia mau.
Arinda memang sedikit penuh
kejutan, dia memang memutuskan untuk kami tidak berhubungan selama aku di
Inggris, dia selalu berulang-ulang mengatakan bahwa kalau semesta berkehendak
tidak satupun yang bisa menolak. Dan lagi aku mempercayainya, percaya akan
semua yang dia katakan.
Aku menemukan Koran kusam itu
tadi pagi, Koran itu sebenarnya sudah hampir setahun berada di tempatku. Suatu
sore sebuah paket dari Malang, kotaku datang dengan alamat dan pengirim yang tidak
jelas. Hanya ada sebuah note kusam yang bertuliskan “Bacalah ketika kamu akan
pulang, benar-benar pulang”. Saat itu aku berpikir Arinda lah yang iseng
mengirim. Sebenarnya aku tidak sabar untuk membacanya, namun tulisan itu
mengingatkanku untuk tidak melanggar janji. Kalau benar itu dari Arinda, maka
dengan tidak membacanya saat itu, aku tidak melanggar janjiku.
Setelah semua urusan selesai,
dan semua barang-barangku sudah kupastikan tidak ada yang tertinggal aku menuju
Bandara. Dalam beberapa belas jam ke depan aku akan bertemu Arindaku. Selama
penerbangan tak satu detikpun aku lewatkan mengulang-ulang kembali kisah kami.
Pertemuan demi pertemuan, tawa, canda, dan pertengkaran semua yang membuatku
merasa nyaman dengannya. Aku rindu mata sendunya yang membuatku candu setiap
kali menatap. Aku rindu, setiap kali dia memanggil namaku “senja” dengan nada
manja. Aku rindu setiap kali dia membanding-bandingkanku dengan senja
sesungguhnya, dia selalu berkata “Kalian sama-sama senja, namun kalian berbeda.
Aku mencintai senja karena jingganya, namun aku mencintai kamu senja, karena
kamu adalah senja”. Aku selalu suka dengan kejutan-kejutan yang akan dia
katakan. Aku rindu saat kami menghabiskan waktu di beranda hanya untuk menatap
senja, menatap momen magis yang tak pernah seharipun kami lewati. Ah, semesta engkau sungguh baik,
menghadiahkan Arinda padaku.
Perjalanan panjangku belum
berakhir, aku baru sampai di Jakarta. Masih harus terbang sekitar hampir dua
jam lagi untuk bertemu Arinda. Arindaku, apa yang kau lakukan sekarang? Pasti
kau tahu hari ini aku pulang, pasti kau sudah menghitung tujuh ratus dua puluh
delapan hari yang kau lewati tanpaku. Pasti kau sangat bosan selama dua tahun
menatap senja di beranda tanpaku Arinda.
Senyumku kembali mengembang
saat pesawat yang aku tumpangi mendarat di kotaku Malang. Dari bandara aku
langsung mencari taksi dan Arinda, rumahmu lah yang menjadi tempat tujuan
utamaku. Aku tidak pulang ke rumah dulu, tidak ada yang menantiku disana. Aku
tinggal sendiri.
Sepanjang jalan aku menatap
keluar jendela. Tidak banyak berubah. Aku mencintai kotaku yang masih hampir
sama seperti sebelum kutinggalkan. Aku sudah di depan rumahmu, dua meter lagi
jarak aku dan pagar rumah mu, itu artinya berapa langkah lagi aku akan datang
dan memelukmu dari belakang.
Aku turun dari taksi namun
langkahku tiba-tiba terhenti. Rumahmu berubah, sepi, tidak terawat. Aku membuka
pagar yang tidak terkunci, berjalan terus melewati beranda di tempat kita
biasanya menatap senja.
Tok tok tok.
Tiga kali ketukan, namun tidak
ada sahutan.
Arinda, bukankah hari ini kamu
seharusnya berdiri di depan pintu dan menatapku haru?
Tok tok tok.
Tiga ketukan kedua, namun
tidak ada yang bersuara.
Aku semakin khawatir.
Tok tok tok
Tiga ketukan ketiga, namun
tetap saja tidak ada yang terjaga.
Aku panik
Dalam gamang aku berusaha
untuk tetap berpikir tenang, Arinda ada apa denganmu?
Lututku gemetar, aku terduduk
lemas.
Semesta, tolong dengarkan aku.
Berikanlah pertanda, dimana aku bisa bertemu Arinda.
30 menit.
60 menit.
Sesuatu
pasti terjadi. Aku mengambil ranselku, dan memeriksa kembali Koran kusam yang
berisi puisimu. Salah satu Koran lokal yang aku tahu kantornya dimana. Setengah
berlari aku kembali keluar pagar dan mencari angkutan apapun yang bisa membawaku
ke kantor Koran tersebut. Aku membiarkan semua barangku tertinggal dirumahmu,
jikalau nanti kamu pulang kamu tahu kalau aku sudah datang.
Beberapa
puluh menit dijalan membuatku tak tenang, sampailah aku di kantor Koran
tersebut. Dengan terbata-bata aku menyatakan maksud dan tujuanku. Ingin mencari
tahu apa yang terjadi dengan Arinda.
Nihil. Tentu saja nihil,
bagaimana mungkin mereka bisa tahu apa yang terjadi dengan salah satu penulis
yang mengirimkan tulisannya hampir setahun yang lalu.
Aku kembali
pulang menuju rumah Arinda, sepanjang jalan aku terus berharap disaat aku
kembali datang Arinda sudah ada disana menyambutku sembari tertawa bahwa dia
telah sukses memberikanku kejutan.
Kosong,
masih tetap kosong. Aku terdiam duduk diberanda, hari sudah hampir senja. Tepat
disini, tujuh ratus dua puluh delapan hari yang lalu di jam yang sama aku
berjalan meninggalkan Arinda.
Senja mulai
terlihat, namun Arinda masih belum juga pulang. Dan aku semakin tidak tenang.
Pikiranku terus melayang-layang hingga akhirnya aku dikejutkan oleh kedatangan
seorang ibu. Bunda, ibu Arinda yang sudah seperti ibuku sendiri.
“Nak Senja, maaf bunda datang
terlambat” Bunda menghampiriku.
“Bunda ada apa? Arinda mana?”
perasaanku tidak enak.
“Mari ikut Bunda”
Aku semakin
tidak tenang, kenapa bunda tidak membawaku ke dalam rumah. Namun aku tidak
berani bertanya. Aku terus mengikuti langkah bunda. Aku mengenal jalan ini,
sungguh aku takut kalau tebakanku benar. Hingga akhirnya sampailah kami disatu
tempat, dan benar. tempat yang sudah tidak asing lagi bagiku. Pemakaman. Tempat
pertama di dunia yang paling aku benci namun juga sering aku kunjungi karena
disanalah kedua orang tuaku bersemayam.
Aku masih tidak berani bicara.
Tolong semesta, berikan aku pertanda.
kami terus
menyusuri deretan-deretan gundukan tanah tersebut. Hingga sampailah kami
disebuah makan yang dinisannya tertulis sebuah nama, Arindaku persis disebelah
makam orang tuaku. Pertanyaanku terjawab.
Aku terdiam lama, masih
menerka-nerka dan mempertanyakan takdir.
“Bunda, apa yang terjadi?”
Hening.
“Senja, setahun setelah
kepergianmu Arinda kecelakaan. Dua minggu lebih dia koma di rumah sakit, hingga
suatu hari dia sadar dan menitipkan Bunda sebuah sebuah amplop. Didalamnya ada
puisi, Arinda meminta bunda untuk mengirimkan ke Koran. Bunda tidak tahu kenapa
dia tidak mau bunda mengirim langsung padamu” Ah, Arinda seperti biasa penuh
kejutan.
“Selama hampir seminggu dia
sadar, Bunda pikir dia akan semakin membaik.
Namun suatu senja, tepat 26 Juli 2013 dia pergi meninggalkan kita
senja.” Bunda mengakhiri kalimatnya seperti aku ingin mengakhiri hidupku saat
ini. Oh, semesta kenapa kali ini kau begitu kejam.
Aku memeluk bunda lama. Tidak
sanggup lagi berkata, bahkan untuk menarik nafaspun aku merasa tersiksa.
Bunda mengajakku pergi, namun
aku masih memutuskan untuk disini. Menghabiskan sisa senja bersama Arindaku.
Koran kusam yang dari tadi
masih digenggamanku kembali ku baca. Tetes demi tetes airmata membasahi pipiku.
Aku mengambil sebuah kertas dan pulpen dari ranselku, kemudian mulai menulis.
Selamat Jalan, Arinda
Malang, 3 Juli 2014
06:05 Pm
Semua tentang senja
Senja yang membawaku menemuimu
Senja yang merupakan namaku, menjadi favorit kita
Aku tidak akan pernah lupa bagaimana kita mengahabiskan waktu menikmati
senja
Aku akan selalu ingat bagaimana kita saling menatap di beranda
Dan aku tidak akan pernah benar-benar pergi
Arinda,
Begitu aku menyebutmu
Mata sendu yang membuatku candu
Berpagut dalam debu tanpa ragu
Semua tentang senja
Senja yang selalu menjadi milik kita
Senja dimana kita saling bersuara hingga akhirnya saling diam
Aku masih ingat senja itu
Senja disaat aku menjauh dan kamu menatap punggungku yang rapuh
Aku tahu kamu mengucapkan selamat jalan
Seharusnya itulah yang membuat langkahku tertahan
Namun aku kalah Karena semesta menginkanku terus kedepan
Arinda
Tujuh ratus dua puluh delapan hari yang lalu aku meninggalkanmu dalam
bisu
Hingga demi jutaan air mata menetes, yang suatu saat akan membeku
menjadi es
Namun Arinda,
Disuatu senja dibulan juli
Bukan aku yang benar-pergi
Kamulah yang menjauh
Menuju surga yang membuatku jatuh
Arinda sayang
Baik-baik disana
Katakan pada semesta untuk tetap terjaga
Menjagamu Arindaku
Arinda, bukan aku yang pulang
Bukan kamu yang mencariku berjuang
Namun suatu saat aku berjanji akan datang
Bukan saat ini, bukan di senja ini
Selamat Jalan, Arindaku
Mungkin kamu tidak mendengar
Namun aku tahu pasti hatimu sadar
Senja
Senja semakin menghilang, aku
memutuskan untuk pulang. Tidak ada lagi yang menantiku. Tidak ada lagi
Arindaku.
***
Untuk Senja, sebuah warna yang membentuk
jingga
No comments:
Post a Comment