Aku menatap gelisah kesekeliling
kamar. Berkali-kali aku melirik jam tanganku. Baru setengah jam lewat waktu
yang ditentukan kemarin. Dua buah jarum suntik masih kugenggam erat ditangan
kananku. Sudah genap sebuluh tahun kisah ini berjalan. Entah berapa banyak rasa
yang sudah tidak lagi bisa terdefinisi. Tentang kamu, laki-laki yang selama ini
menaungi hatiku. Dalam diam aku beralih keruang tamu. Sejenak aku ingin
mengulang-ngulang kembali kenangan demi kenangan selama sepuluh tahun
belakangan.
Dan
ingatanku membawaku kembali pada saat itu.
Sepuluh tahun sebelumnya.
Aku berlari
sekencang-kencangnya dari pagar sekolah menuju ruang kelas. Tepat disaat aku
datang, bel tanda masuk berdentang tiga kali. Dalam hati aku merutuki pagi ini,
hari kedua duduk di bangku kelas dua aku telat untuk pelajaran ekonomi. Seperti biasa sewaktu kelas satu dulu guru
ekonomi yang terkenal mematikan itu tidak akan mebiarkan muridnya memasuki
kelas jika telat bahkan Cuma satu langkah saja dibelakangnya. Dan sialnya tahun
inipun aku kembali bertemu dengannnya.
Aku melihat
sekilas ke arah ruang guru.
Sial. Pak Mahmud
sudah dengan sangarnya berlari menuju ruang kelasku. Aku berusaha mempercepat
lariku namun jarakku yang tertinggal jauh membuatku tak mampu mengejarnya.
Akupun lemas. Terlambat sudah. Aku tidak bisa mengikuti pelajaran ekonomi pagi
ini.
Aku memutar arah
menuju kantin belakang. Tanpa kusadari kamu mengikutiku. Aku memilih duduk
disebelah pojok kanan kantin tersebut. Kamu yang tadi dibelakangku ternyata
juga masih mengikutiku. Aku tidak menghiraukanmu. Namun..
“Hey, kamu murid
kelas 2 A?”
“Iya kenapa?”
“Perkenalkan,
namaku Abimanyu. Tapi aku biasa dipanggil Abe”
Aku memperhatikan
wajahmu lekat. Bibirmu yang melengkung indah saat tersenyum serta pandangan
matamu yang sayu sedikit sendu. Membuat otakku berhenti berfungsi sesaat.
Cepat-cepat aku
mengendalikan pikiranku.
“Aku Nada”
“Hmm. Nada? Bisa
bernyanyi?”
“Sama sekali
tidak”
“Aku tadi
melihatmu lari-lari menuju kelas. Aku juga telat dikelasnya pak Mahmud. Tp aku baru tahu ternyata telat selangkah dari dia
kita tidak boleh masuk”
“Aku sudah tahu.
Kelas satu kemarin dia juga mengajarku”
“Pantas. Ini hari
pertamaku disekolah ini”
Gara-gara kita
berdua tidak masuk pada jam pelajaran ekonomi jadinya kita mendapat hukuman
untuk mengerjakan lima puluh soal latihan yang harus segera dikumpulkan besok
pagi. Dan berhubung Cuma kita berdua yang terlambat, pak Mahmud memutuskan
untuk menyuruh kita mengerjakan jadi tugas kelompok. Jadilah sepulang sekolah
aku dan kamu mengerjakan tugas tersebut sampai larut malam dirumahku. Mulai
saat itu, aku dan kamu menjadi dua sahabat yang tak bisa terpisahkan sampai
sekarang. Dan dari saat itulah aku memutuskan untuk jatuh hati padamu Abe,
lelaki bermata sendu itu.
Lamunanku
kembali tersadarkan oleh jam ruang tengah yang berdentang dua belas kali. Aku
semakin gelisah, kenapa kamu tidak juga datang. Mungkinkah kamu masih bersama
Raya.
Raya, gadis
bermata sipit yang sudah selama lebih dari sepuluh tahun belakangan selalu
menjadi topik pembicaraanmu.
“Nadaaaa?”
“Iya?”
“Kamu tahu hari
ini aku ingin membongkar rahasiaku padamu.”
Aku bangkit
malas-malasan dari tempat tidur. Hari ini kita belajar bersama untuk menyelesaikan paper
sejarah yang akan dikumpulkan besok pagi.
“Kamu tahu Raya?
Kurasa aku mencintainya. Bukan bukan kurasa lagi. Aku memang mencintainya”
Aku terpaku
sejenak. Kamu mungkin tidak sadar perubahan wajahku. Namun aku berusaha sekuat
mungkin untuk menahan sesuatu yang ingin segera tumpah dari sudut mataku.
Sejak saat itu
setiap hari kamu selalu bicara tentang Raya, pagi, siang, sore, malam, setiap
waktu Cuma dia yang selalu keluar dari omonganmu.
Selama sepuluh
tahun ini, entah beberapa banyak wanita yang menangis karena harapan-harapan
kosong yang kau beri pada mereka termasuk aku. Kamu sempat beberapa kali punya
pacar, namun aku tahu karena setiap kali kamu punya pacar kamu masih mengingat
Raya. Begitupun aku yang akhirnya memutuskan untuk mulai membuka hati, namun
masih kamu yang dengan indahnya mengisi hati dan otakku. Dak terhitung juga
beberapa kali aku mencoba menepis banyangmu dengan orang lain namun semuanya
masih sama.
Aku
masih sangat ingat, bagaimana semua teman-teman kita menjauhi kita berdua hanya
karna tidak ada satu orangpun yang bisa berlama-lama kita pacari yang lebih
dari tiga bulan. Aku tahu semua orang sangat membenci kita. Mereka sama sekali
tidak tahu alasan kita. Raya alasanmu, dan kamu sendiri tidak tahu kamulah
alasanku. Setiap kali salah satu diantara kita putus, kita selalu merayakan.
Kita menganggap itu semua sebagai pengalihan perasaan kita yang sebenarnya.
Hingga akhirnya kaupun mempertanyakanku, kenapa aku juga sepertimu.
“Nada, sudahkah kau menghitung beberapa
banyak lelaki yang menangisimu dari pertama kali kau memutuskan untuk punya
pacar?”
Aku mencoba
mengingat-ingat sejenak. Beberapa nama terlintas dibenakku.
“Entahlah aku
tidak ingin mengingatnya. Bagaimana denganmu, beberapa ribu wanita lagi yang
ingin kau buat menangis hingga akhirnya kau berhenti?”
“Entahlah, mungkin
sampai Raya benar-benar melihatku.”
Kita sama-sama
terdiam.
“Nada, bolehkah
aku bertanya sesuatu?”
Aku gugup
mendengar pertanyaanmu.
“Iya Be, ada apa?”
“Selama kita
berteman, belum pernah sekalipun aku melihatmu menangisi seorang pria. Setiap
kali kamu putus kamu tertawa. Kita sama-sama membuat orang lain diluar sana
menangis. Kalau alasanku adalah Raya, lalu bagaimana denganmu?”
Aku tercekat
mendengar pertanyaanmu waktu itu. Bagaimana mungkin aku mengakuinya kalau orang
yang setiap hari ada di hatiku yang hampir setiap malam aku tangisi adalah
kamu.
Aku gugup dan tak
bisa menjawab.
“Nada, kenapa kamu
tidak menjawab?”
Aku menatap matamu
semakin dalam. Haruskah aku jujur?
“Be, menurutmu
kalau salah satu diantara kita mempunyai perasaan lebih apakah itu salah?”
Gantian kamu yang
tercekat mendengar pengakuanku. Aku yakin sesaat setelah aku berkata begitu
kamu langsung memahami maksudku.
“Nada?
Mungkinkah?”
Kamu tidak
melanjutkan perkataanmu.
“Lima tahun Be,
dari pertemuan kita saat kelas dua SMA dulu. Sampai sekarang kita berdua sudah
sama-sama kuliah semuanya bagiku tidak ada yang berubah Be. Aku menyayangimu,
mencintaimu, mengagumi, lebih dari sebagai seorang sahabat.”
Kamu hanya
memelukku. Dari sikapmu aku tahu tidak ada yang bisa menggantikan Raya
dihatimu. Karena seperti yang kamu katakan, aku dan Raya sama-sama memiliki
arti yang penting bagimu. Namun aku tetaplah aku dan Raya tetaplah Raya. Kami
berbeda.
Malam semakin
larut, belum ada tanda-tanda kedatanganmu. Aku semakin gelisah menatap pintu.
Selama lima tahun setelah kamu tahu tentang perasaanku tidak sedikitpun berubah
dari sikapmu, tidak sekalipun kamu meninggalkanku. Akupun pernah
mempertanyakannya.
“Be, kenapa kamu masih mau bersahabat
denganku. Sedangkan kamu sendiri tahu. Aku bersahabat denganmu bukanlah rasa
murni bersahabat?”
“Kenapa kamu
bicara begitu Nada?”
“Bukankah
sebenarnya akan lebih mudah jika kamu pergi menjauh dan meninggalkanku.
Sehingga aku bisa segera bangun bahwa aku bukanlah orang yang kamu inginkan
untuk menghabiskan sisa hidupmu Be?”
“Apakah itu maumu
Nada? Kamu ingin aku benar-benar pergi?”
Aku hanya terdiam
saat itu.
“Nada, setidaknya
dengan menemanimu setiap hari bisa menebus rasa bersalahku yang telah membuatmu
menangis hampir tiap malam”
Aku memelukmu
erat.
Entah beberapa
banyak waktu yang telah kita lalui bersama. Aku sudah tidak dapat menghitung
dengan pasti pertemuan-pertemuan kita. Yang aku tahu setiap hari aku melihatmu.
Hingga tiga bulan yang lalu entah apa yang merasuki saat itu disaat aku
melihatmu terdiam lama disudut kamarku. Selama hampir sepuluh tahun mengenalmu
baru kali itu aku melihatmu benar-benar aneh.
Aku melihatmu menitikkan air mata. Untuk
pertama kalinya aku menyaksikan Abeku yang tangguh menangis, dan Raya. Dia yang
harus bertanggung jawab.
Aku berlari
meninggalkan kamarku untuk menemui raya di kantornya. Aku memang tidak
mengenalnya dengan baik. Hanya beberapa kali kamu mengajakku untuk menemui Raya.
Itupun tidak berlangsung lama entah karena apa.
Aku mengeluarkan
ponselku dan mengetik nomor Raya. Dalam hati aku berdoa semoga Raya belum
pulang.
Setelah bicara
sebentar ditelepon akhirnya aku melihat wajah Raya keluar dari kantornya. Aku
mengajak Raya kesebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya. Lihatlah apa yang
aku lakukan untukmu.
“Ada apa Nada?”
Raya menanyaiku sesaat setelah pelayan kafe mencatat pesanan kami.
“Raya, apa yang
membuatmu tidak mau menerima Abe?” Tanpa basa basi aku langsung menuju topik
pembicaraan.
“Nada, disaat tadi
kamu meneleponku aku sudah tahu siapa yang akan menjadi topik pembicaraan kita
hari ini.” Raya memberiku sebuah senyum yang sulit kuartikan.
“Aku tahu Abe
mencintaiku dari dulu. Ya, selama sepuluh tahun ini. Aku tahu sepuluh tahun
bukan waktu yang sebentar. Selama itu dia mengharapkanku. Tapi nada, aku justru
takut?”
“Apa yang
membuatmu takut?”
“Selama sepuluh
tahun ini pasti Abe menganggapku seseorang yang lebih dari siapapun sehingga
membuatnya bertahan begitu lama”
Jeda.
“Aku takut Nada,
kalau aku memutuskan untuk menerima Abe. Aku takut ternyata diriku bukanlah
seperti yang dia bayangkan selama ini. Banyak kekurangan-kekuranganku yang
mungkin dia tidak bisa terima.”
“Abe mencintamu
Raya. Aku begitu mengenal Abe”
Itulah akhir
percakapan aku dan Raya. Aku memutuskan untuk pergi bahkan sebelum pesananku
datang. Aku sesak berlama-lama di depan Raya. Satu-satunya perempuan yang mampu
mengalihkan perhatiamu.
Ada sedikit
rasa sesal dan menyesal menyelimutiku setelah aku memutuskan untuk menemui
Raya. Aku takut, sangat takut, begitu takut untuk membayangkan hal yang paling
aku takutkan terjadi. Aku takut kalau pada akhirnya Raya memutuskan untuk menerimamu.
Bukankah itu hal yang bagus. Tentu saja kamu akan sangat-sangat bahagia.
Bagaimana tidak, seseorang yang selama sepuluh tahun belakangan selalu hadir
dalam mimpumu memutuskan untuk akhirnya menerimamu? Lalu bagaimana denganku. Hingga
akhirnya tadi malam semuanya terjawab.
Kamu
setengah berlari menghampiruku yang tertidur lelah di kamar.
Kamu
membangunkanku.
“Nada, Raya baru saja meneleponku. Katanya
ada yang perlu dia bicarakan denganku”
Aku dapat melihat
ada haru dimatamu, sendu yang sedari dulu bersemayam seketika menghilang. Aku
benci mata itu. Aku mempunyai firasat baik tentang ini. Entah itu baik untukku
atau untukmu. Hingga akhirnya aku meraih ponselku dan menemukan jawaban dari
semuanya.
Nada terimakasih
atas kedatanganmu waktu itu. Aku sudah memutuskan. Ada baiknya aku membuka hati
pada Abe.
Raya.
Tiga potong kalimat yang meluluh lantakkan
hatiku.
Aku menatapmu lama.
“Abe, maukah besok kamu datang lagi kesini.
Tepat pukul sebelas belas malam. Mungkin saja besok adalah hari perpisahan
kita”
“Kamu bicara apa Nada?”
“Aku menunggumu besok disini”
“Baiklah”
Entah karena
terlalu senang atau apa kamupun tidak bertanya lagi dan memutuskan untuk
mengiyakan permintaanku.
Lamunanku
kembali dikejutkan, namun bukan lagi oleh jam dinding yang berdentang dua belas
kali. Namun bel dari pintu rumahku. Aku tahu kamu datang. Aku berjalan menuju
pintu dengan dua buah jarum suntik yang bersembunyi dibalik punggungku.
Aku
mebukakan pintu. Seperti biasa aku memelukmu. Dan dengan cepat salah satu jarum
suntik menancap kuat di lehermu.
“Na..da”
Kamu
tercekat. Aku hanya diam dan berusaha memapahmu yang mulai lunglai.
Aku
terus memapahmu menuju ruang tamu, mendudukkanmu di kursi tanpa perlawanan.
“Be,
maafkan aku. Cairan dalam jarum itu tidak akan membuatmu langsung mati. Kamu
hanya lemas dan perlahan kamu akan kehilangan kesadaran. Namun waktunya cukup
untuk mendengarkanku bercerita.”
“Na..da”
Aku meletakkan telunjukku dibibirmu.
“Diamlah
dengarkan aku. Tenanglah Be, kamu tidak akan pergi sendiri. aku masih punya
satu lagi” Aku memperlihatkan padamu satu jarum yang masih berisi cairan.
“Na..da..
bu..ang.. ja..rum.. itu.. ka..mu..ha..rus..te.. tap.. hi.. dup”
“Kenapa
Be, bukankah pembunuh seharusnya mati juga”
“Na..
da.. to.. long.. de..ngarkan.. a.. ku.. du..lu.. Ra.. ya.. dia ti..dak..
men..cin..ta..i..ku..” terbata-bata kamu menjelaskan.
Kamu
menarik nafas. Perlahan kata-katamu sedikit kembali normal.
“Rayaa..
me..mang.. me..mutus..kan untuk.. men..co..ba.. mem..bu..ka..hatinya.. pa..
da..ku.”
Jeda.
“Na..mun..
a..ku sa..dar. aku ti..dak i..ngin.. membe..bani.. Ra..ya un..tuk
be..la..jar..men..cin..tai..ku Nada. Se..te..lah… mendengar semuanya.. da..ri..
ra..ya.. tentang per..temuan.. ka..li..an. aku sadar Nada.. ka..mu.. sudah..
ter..la..lu.. ba..nyak.. berkorban.. untukku..sehingga.. me..nga..bai..kan..
perasaanmu.. sendiri”
Tanpa
bisa kucegah airmataku bertumpah.
“Na…da..
kamu tahu.. ke..na..pa aku ter..lam..bat? butuh.. sepuluh..ta..hun ba..giku..
untuk me..nyadari.. kalau raya bukanlah..un..tukku.. namun.. na.. da, ha..nya..
butuh du..jam ba..gi.ku.. un..tuk meyakinkan.. ka..lauu.. ka..mu..lah.. yang
sebenarnya aku cintai.”
Aku
memelukmu erat.
“Abe
maafkan aku.”
“Na..da.
kumohon.. tetaplah.. hi..dup.. de..mi.. aku”
Aku
sudah tidak kuat lagi. Jarum suntik yang masih berisi menancap dileherku. Aku
merebahkan diri dipelukan Abe.
“Aku..
men..cin..tai..mu.. Nada”
Dan
semuanya gelap.
Source: Google
No comments:
Post a Comment