Mendung.
Awan kelabu seperti biasa menyelimuti kota Bandung di sore hari. Tak banyak
berubah. Masih persis sama seperti tiga tahun belakangan ini. Aku mengayunkan
langkahku cepat, sebentar lagi hujan. Bisa saja hujan menghampiriku sebelum aku
sampai ke halte tempat tujuanku. Untunglah, sebelum hujan datang aku sudah
sampai di sebuah halte pemberhentian bis kota yang hampir setiap hari kudatangi
tiga tahun belakangan.
Tiga tahun yang lalu disebuah sore
yang mendung aku bertemu seorang pemuda di halte ini. Sore itu aku menunggu
hujan sedangkan dia menunggu bis untuk pulang. Aku suka sekali hujan. Setiap
hari aku akan pergi ketempat yang berbeda setiap harinya. Kadang ke halte bis,
kadang ke taman kota, kadang ke atap gedung, kadang ke pinggir danau yang
berada di taman kota, kadang ke sebuah jembatan hanya untuk menunggu hujan
turun. Adakalanya aku berteduh, adakalanya aku biarkan air hujan menyentuhku. Hingga
akhirnya tempat ini, halte bis yang menjadi pemberhentian terakhirku untuk
menanti hujan. Pemuda itu, senyum lembut yang paling indah yang pernah kulihat.
Matanya yang teduh, menatapnya aku seperti menatap hujan.
Entah karena kebetulan, bis yang dia
tunggu tidak datang sedangkan hujan yang aku tunggu tidak juga datang. Halte
bis juga sedang sepi. Hanya ada aku dan dia.
“Mau kemana?”
Aku tahu dia memanggilku namun aku
memilih untuk diam.
“Mba, mau kemana? Sedang menunggu
bis atau menunggu seseorang?”
Aku menengadahkan kepala, menatapnya
lama. Dia sedikit lebih tinggi dariku.
“Aku menanti hujan” Akhirnya aku
menjawab.
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Cuma ingin bertemu
hujan”
Kami berdua sama-sama diam. Memang
sedikit yang bisa mengobrol lama-lama denganku. Kata ibu aku memiliki kelainan.
Aku tidak bisa ditebak, kadang suka menyendiri, kadang suka tertawa sendiri.
Entahlah aku tidak mengerti aku ini kenapa.
“Hujanmu belum juga datang, bisku
juga entah berhenti dimana”
Dia meracau sendiri.
“Oiya kenalkan aku Banyu”
“Gadis”
“Hhmm Gadis”
Aku tidak tahu maksud nada bicaranya
ketika menyebut namaku.
Perkenalan singkat yang berlanjut
dengan sering bertemu baik secara tidak sengaja maupun kami sengaja membuat
janji untuk bertemu disuatu tempat. Pertemuan yang seharusnya berlanjut ke
jenjang yang lebih serius kalau saja…
“Mbak Gadisss”
Sebuah suara menghentikan lamunanku.
“Adrian”
“Mbak, pulang yuk bentar lagi hujan.
Mbak dicari ibu”
“Sudah kamu pulang saja dulu. Aku disini
nungguin Mas Banyu”
“Mbak mau sampai kapan sih? Udah
sini pulang”
Adrian menarik tanganku. Aku pasrah,
inilah rutinitasku setahun belakangan. Setiap soremenjelang senja dan sebelum
hujan aku selalu datang kesini tempat pertama kali aku mengenal Banyu sekaligus
tempat terakhir kali pula aku melihatnya.
Aku mengikuti langkah Adrian gontai,
tik..tik..tik.. gerimis mulai turun berirama. Aku menatap langit berharap hujan
turun dengan derasnya. Namun sampai aku
menginjakkan kaki di pagar rumah hanya gerimis saja yang mau
menghampiriku.
“Gadis, makan dulu sayang. Dari tadi
siang kamu belum makan”
“Nggak mau, aku mau nungguin mas
Banyu pulang dulu”
Setiap kali aku menyebut nama Banyu,
ibu selalu memilih diam.
Aku berlari ke kamarku di lantai dua
meninggalkan mereka.
Kamar ini merupakan tempat
persembunyian paling aman untukku. Entah kenapa disini aku merasa terlindungi.
Ruangan serba putih ini selalu membuatku betah berlama-lama disini. Aku menatap
nanar pada gaun pengantin yang tergantung di salah satu sisi dinding kamarku.
Gaun putih yang begitu sempurna. Aku selalu membayangkan tubuh tinggiku dibalut
gaun berbahan satin itu. Aku kembali mencobanya.
Aku berdiri berlama-lama di cermin
kamarku. Gaun yang dulunya pas di badanku sekarang sedikit longgar. Entah
berapa banyak aku kehilangan berat badan. Aku menatap bayanganku. Sinar mataku
seolah meredup dan aku kembali menangis.
***
Sore ini mendung kembali menyelimuti
langit kota bandung. Aku berlari kecil dari kamar menuju pintu depan. Namun
belum sempat aku keluar rumah, hujan turun dengan derasnya. Sial, aku kembali
ke kamar. Hari ini aku tidak bisa pergi kemana-mana. Hampa.
Aku membuka jendela kamar. Perlahan
angin dan tempias berlomba-lomba memasuki kamarku. Hujan turun begitu deras
sore ini. Aku menatap jalanan di depan rumah. Genangan air dimana-mana.
Pohon-pohon di halaman depanpun bergoayang-goyang tertiup angin. Dingin.
Tok..tok..tok.
“Gadis kamu di kamar?”
Ibu.
Aku hanya diam meringkuk di salah
satu sudut kamarku.
“Gadis ibu boleh masuk”
Aku tidak pernah mengunci pintu
namun begitulah ibu selalu meminta izin ketika ingin masuk ke kamarku. Aku
malas beranjak, pandanganku tak lepas dari jalanan di depan rumah yang semakin
digenangi air. Hujanpun semakin deras tanpa ampun menghantam bumi.
“Gadis”
Aku mendengar ibu membuka pintu
perlahan dan berjalan pelan menghampiriku.
“Gadis, kamu sedang apa nak?”
Aku sedang tidak ingin bicara.
“Gadis, dengarkan ibu kali ini
sayang. Ibu mohon kali ini saja”
Aku menatap wajah ibu. Lelah.
Sepertinya ibu sudah lelah denganku.
“Gadis, sampai kapan nak kamu begini
terus”
Aku menatap ibu semakin dalam.
“Sayang, ibu tahu apa yang kamu
rasakan. Seperti disaat ayah meninggal ibu juga merasakan seperti kamu
sekarang. Tapi ibu mohon Gadis, ikhlaslah. Demi kamu dan demi banyu juga”
Aku kembali teringat disaat umurku
baru tujuh tahun dan Adrian berumur 3 saat ayah meninggal. Saat itu aku
berpikir kalau ayah yang terbujur di dalam rumah kami sedang tidur. Namun aku
melihat semua orang menangis. Aku takut, suara isakan dan juga ayat-ayat
al-quran yang dilantunkan membuatku takut hingga aku berteriak-teriak sendiri.
Semenjak itulah aku sering melakukan hal-hal aneh. Bukan hanya aku yang berubah,
ibu juga lebih sering murung dan mengangis sendiri. Tapi beberapa bulan setelah
itu ibu kembali seperti semula. Namun aku, butuh waktu 18 tahun bagiku untuk
bisa tersenyum lepas seperti tanpa beban disaat aku bertemu dengan Banyu. Selama
dua tahun aku dan Banyu menjalani hubungan istimewa. Hanya dia yang bisa
menerima kekuranganku. Hanya dia yang bisa mengembalikan tawaku. Dia tidak
keberatan kalau aku tiba-tiba mengajaknya menanti hujan di halte bus tempat
kita bertemu dulu. Bahkan dia sering membawaku pergi jalan-jalan kemana-mana.
Sampai setahun yang lalu akhirnya dia melamarku. Aku bahagia saat itu, bahagia
sekali. Semua persiapan pernikahan kami berjalan dengan lancar. Gaun yang sudah
siap untuk dipakai, undangan, gedung, serta semuanya sudah kami persiapkan.
Hingga akhirnya dua seminggu sebelum pernikahan bencana itu menghampiriku yang
aku berharap itu tidak benar-benar terjadi. Yang aku harapkan itu Cuma mimpi
yang menghampiriku hingga sebentar lagi aku akan terbangun dan melihat Banyu
mendekapku.
“Gadis, ibu mohon jangan seperti ini
terus. Ikhlaskan Banyu nak”
“Tidaaaaakkkk.. ibu bicara apa sih”
Aku berteriak kepada ibu.
“Gadis, Banyu tidak akan pulang lagi
sayang”
Aku melihat ibu menangis. Semenjak
setahun belakangan baru kali ini ibu menangis di depanku.
“Ibu mohon Gadis, dengarkan ibu kali
ini nak”
Bahuku terguncang. Ibu memelukku
erat. Aku kembali teringat saat itu. Di halte bis tempat kami biasa bertemu.
Hari itu aku dan banyu baru saja pulang mengambil undangan dari tempat
percetakan. Hari itu tidak seperti biasanya kami pergi dengan bus. Mobil banyu
sedang di pakai adiknya ke Garut. Selama perjalanan itu tidak sedikitpun Banyu
melepaskan genggaman tanganku. Hingga akhirnya kami turun di halte itu. Hari
itu hanya gerimis yang tersisa.
“Gadis, kamu mau disini dulu apa
langsung pulang?”
“Terserah kamu”
“Yaudah kita langsung pulang aja ya.
Nanti sampai rumah kamu istirahat ya. Jangan sampai capek ya sayang”
Aku tersenyum menatap wajahnya.
Tangan kiri banyu menggandeng
tanganku. Sedangkan tangan kanannya
membawa sebuah kantong yang berisi undangan pernikahan kami. Baru dua
langkah menyeberang tiba-tiba dari arah kanan kami sebuah mobil melaju kencang. Kecelakaanpun
tak terhindar, sebelum mobil itu menabrak kami Banyu masih sempat mendorongku
ke belakang. Aku hanya terduduk dipinggir trotoar. Dengan nanar aku menatap
undangan kami yang bertebaran dijalan. Beberapa diantaranya terkena noda darah.
Otakku masih belum menangkap apa yang terjadi hingga akhirnya kerumunan orang
membuatku sadar aku kehilangan Banyu. Aku menghampiri tubuhnya yang terkulai.
Darah terus mengucur dari kepalanya. Aku memeluknya hingga akhirnya aku
pingsan.
Sudah setahun berlalu namun aku
masih berharap Banyu akan pulang. Aku menangis sejadinya dan memeluk ibu.
Hujan masih turun dengan derasnya.
Aku melepaskan pelukan ibu dan berlari turun. Aku terus berlari ditengah hujan
menuju halte bus itu. Dari seberang jalan aku menatap kea rah sana kosong. Aku
merindukan Banyu. Hujan semakin deras dan senjapun menghampiri. Aku masih
berdiri menatap halte bus itu. Samar aku melihat bayangan seorang pemuda
berdiri di tengah hujan. Potongan rambutnya yang ikal, matanya yang teduh,
senyumnya yang membuatku candu. Ya, Banyu. Aku dapat melihat dia melambaikan
tangan. Aku mengejarnya hingga tiba-tiba suara mesin mobil mengagetkanku. Aku
menyentuh aspal jalan. Aku masih dapat mendengar kerumunan orang mendekatiku
hingga akhirnya aku merasakan tubuhku ringan. Melayang. Aku merasakan seserang
menyentuhku, memelukku dari belakang. Aku berbalik. Banyu. Dia tersenyum, aku
menangis. Kami berpelukan di bawah hujan.
***
Menantimu tidak seperti menanti hujan dikala mendung
Aku menanti hujan karena aku tahu disaat mendung
hujan pasti datang
Entah datang terlalu cepat, atau kah datang
terlambat
Namun menantimu aku seperti menerka waktu
Aku tidak akan tahu kapan kamu datang menjemputku
No comments:
Post a Comment