Monday, June 30, 2014

Menanti Hujan

Mendung. Awan kelabu seperti biasa menyelimuti kota Bandung di sore hari. Tak banyak berubah. Masih persis sama seperti tiga tahun belakangan ini. Aku mengayunkan langkahku cepat, sebentar lagi hujan. Bisa saja hujan menghampiriku sebelum aku sampai ke halte tempat tujuanku. Untunglah, sebelum hujan datang aku sudah sampai di sebuah halte pemberhentian bis kota yang hampir setiap hari kudatangi tiga tahun belakangan.

            Tiga tahun yang lalu disebuah sore yang mendung aku bertemu seorang pemuda di halte ini. Sore itu aku menunggu hujan sedangkan dia menunggu bis untuk pulang. Aku suka sekali hujan. Setiap hari aku akan pergi ketempat yang berbeda setiap harinya. Kadang ke halte bis, kadang ke taman kota, kadang ke atap gedung, kadang ke pinggir danau yang berada di taman kota, kadang ke sebuah jembatan hanya untuk menunggu hujan turun. Adakalanya aku berteduh, adakalanya aku biarkan air hujan menyentuhku. Hingga akhirnya tempat ini, halte bis yang menjadi pemberhentian terakhirku untuk menanti hujan. Pemuda itu, senyum lembut yang paling indah yang pernah kulihat. Matanya yang teduh, menatapnya aku seperti menatap hujan.

           Entah karena kebetulan, bis yang dia tunggu tidak datang sedangkan hujan yang aku tunggu tidak juga datang. Halte bis juga sedang sepi. Hanya ada aku dan dia.
            “Mau kemana?”
            Aku tahu dia memanggilku namun aku memilih untuk diam.
            “Mba, mau kemana? Sedang menunggu bis atau menunggu seseorang?”
            Aku menengadahkan kepala, menatapnya lama. Dia sedikit lebih tinggi dariku.
            “Aku menanti hujan” Akhirnya aku menjawab.
            “Kenapa?”
            “Nggak apa-apa. Cuma ingin bertemu hujan”


            Kami berdua sama-sama diam. Memang sedikit yang bisa mengobrol lama-lama denganku. Kata ibu aku memiliki kelainan. Aku tidak bisa ditebak, kadang suka menyendiri, kadang suka tertawa sendiri. Entahlah aku tidak mengerti aku ini kenapa.
            “Hujanmu belum juga datang, bisku juga entah berhenti dimana”
            Dia meracau sendiri.
            “Oiya kenalkan aku Banyu”
            “Gadis”
            “Hhmm Gadis”
            Aku tidak tahu maksud nada bicaranya ketika menyebut namaku.

         Perkenalan singkat yang berlanjut dengan sering bertemu baik secara tidak sengaja maupun kami sengaja membuat janji untuk bertemu disuatu tempat. Pertemuan yang seharusnya berlanjut ke jenjang yang lebih serius kalau saja…
            “Mbak Gadisss”
            Sebuah suara menghentikan lamunanku.
            “Adrian”
            “Mbak, pulang yuk bentar lagi hujan. Mbak dicari ibu”
            “Sudah kamu pulang saja dulu. Aku disini nungguin Mas Banyu”
            “Mbak mau sampai kapan sih? Udah sini pulang”

            Adrian menarik tanganku. Aku pasrah, inilah rutinitasku setahun belakangan. Setiap soremenjelang senja dan sebelum hujan aku selalu datang kesini tempat pertama kali aku mengenal Banyu sekaligus tempat terakhir kali pula aku melihatnya.

            Aku mengikuti langkah Adrian gontai, tik..tik..tik.. gerimis mulai turun berirama. Aku menatap langit berharap hujan turun dengan derasnya. Namun sampai aku  menginjakkan kaki di pagar rumah hanya gerimis saja yang mau menghampiriku.
            “Gadis, makan dulu sayang. Dari tadi siang kamu belum makan”
            “Nggak mau, aku mau nungguin mas Banyu pulang dulu”
            Setiap kali aku menyebut nama Banyu, ibu selalu memilih diam.
            Aku berlari ke kamarku di lantai dua meninggalkan mereka.

            Kamar ini merupakan tempat persembunyian paling aman untukku. Entah kenapa disini aku merasa terlindungi. Ruangan serba putih ini selalu membuatku betah berlama-lama disini. Aku menatap nanar pada gaun pengantin yang tergantung di salah satu sisi dinding kamarku. Gaun putih yang begitu sempurna. Aku selalu membayangkan tubuh tinggiku dibalut gaun berbahan satin itu. Aku kembali mencobanya.

            Aku berdiri berlama-lama di cermin kamarku. Gaun yang dulunya pas di badanku sekarang sedikit longgar. Entah berapa banyak aku kehilangan berat badan. Aku menatap bayanganku. Sinar mataku seolah meredup dan aku kembali menangis.

            ***
            Sore ini mendung kembali menyelimuti langit kota bandung. Aku berlari kecil dari kamar menuju pintu depan. Namun belum sempat aku keluar rumah, hujan turun dengan derasnya. Sial, aku kembali ke kamar. Hari ini aku tidak bisa pergi kemana-mana. Hampa.

            Aku membuka jendela kamar. Perlahan angin dan tempias berlomba-lomba memasuki kamarku. Hujan turun begitu deras sore ini. Aku menatap jalanan di depan rumah. Genangan air dimana-mana. Pohon-pohon di halaman depanpun bergoayang-goyang tertiup angin. Dingin.
            Tok..tok..tok.
            “Gadis kamu di kamar?”
            Ibu.
            Aku hanya diam meringkuk di salah satu sudut kamarku.
            “Gadis ibu boleh masuk”

       Aku tidak pernah mengunci pintu namun begitulah ibu selalu meminta izin ketika ingin masuk ke kamarku. Aku malas beranjak, pandanganku tak lepas dari jalanan di depan rumah yang semakin digenangi air. Hujanpun semakin deras tanpa ampun menghantam  bumi.
            “Gadis”
            Aku mendengar ibu membuka pintu perlahan dan berjalan pelan menghampiriku.
            “Gadis, kamu sedang apa nak?”
            Aku sedang tidak ingin bicara.
            “Gadis, dengarkan ibu kali ini sayang. Ibu mohon kali ini saja”
            Aku menatap wajah ibu. Lelah. Sepertinya ibu sudah lelah denganku.
            “Gadis, sampai kapan nak kamu begini terus”
            Aku menatap ibu semakin dalam.
            “Sayang, ibu tahu apa yang kamu rasakan. Seperti disaat ayah meninggal ibu juga merasakan seperti kamu sekarang. Tapi ibu mohon Gadis, ikhlaslah. Demi kamu dan demi banyu juga”

            Aku kembali teringat disaat umurku baru tujuh tahun dan Adrian berumur 3 saat ayah meninggal. Saat itu aku berpikir kalau ayah yang terbujur di dalam rumah kami sedang tidur. Namun aku melihat semua orang menangis. Aku takut, suara isakan dan juga ayat-ayat al-quran yang dilantunkan membuatku takut hingga aku berteriak-teriak sendiri. Semenjak itulah aku sering melakukan hal-hal aneh. Bukan hanya aku yang berubah, ibu juga lebih sering murung dan mengangis sendiri. Tapi beberapa bulan setelah itu ibu kembali seperti semula. Namun aku, butuh waktu 18 tahun bagiku untuk bisa tersenyum lepas seperti tanpa beban disaat aku bertemu dengan Banyu. Selama dua tahun aku dan Banyu menjalani hubungan istimewa. Hanya dia yang bisa menerima kekuranganku. Hanya dia yang bisa mengembalikan tawaku. Dia tidak keberatan kalau aku tiba-tiba mengajaknya menanti hujan di halte bus tempat kita bertemu dulu. Bahkan dia sering membawaku pergi jalan-jalan kemana-mana. Sampai setahun yang lalu akhirnya dia melamarku. Aku bahagia saat itu, bahagia sekali. Semua persiapan pernikahan kami berjalan dengan lancar. Gaun yang sudah siap untuk dipakai, undangan, gedung, serta semuanya sudah kami persiapkan. Hingga akhirnya dua seminggu sebelum pernikahan bencana itu menghampiriku yang aku berharap itu tidak benar-benar terjadi. Yang aku harapkan itu Cuma mimpi yang menghampiriku hingga sebentar lagi aku akan terbangun dan melihat Banyu mendekapku.
            “Gadis, ibu mohon jangan seperti ini terus. Ikhlaskan Banyu nak”
            “Tidaaaaakkkk.. ibu bicara apa sih”
            Aku berteriak kepada ibu.
            “Gadis, Banyu tidak akan pulang lagi sayang”
            Aku melihat ibu menangis. Semenjak setahun belakangan baru kali ini ibu menangis di depanku.
            “Ibu mohon Gadis, dengarkan ibu kali ini nak”

            Bahuku terguncang. Ibu memelukku erat. Aku kembali teringat saat itu. Di halte bis tempat kami biasa bertemu. Hari itu aku dan banyu baru saja pulang mengambil undangan dari tempat percetakan. Hari itu tidak seperti biasanya kami pergi dengan bus. Mobil banyu sedang di pakai adiknya ke Garut. Selama perjalanan itu tidak sedikitpun Banyu melepaskan genggaman tanganku. Hingga akhirnya kami turun di halte itu. Hari itu hanya gerimis yang tersisa.
            “Gadis, kamu mau disini dulu apa langsung pulang?”
            “Terserah kamu”
            “Yaudah kita langsung pulang aja ya. Nanti sampai rumah kamu istirahat ya. Jangan sampai capek ya sayang”
            Aku tersenyum menatap wajahnya.

            Tangan kiri banyu menggandeng tanganku. Sedangkan tangan kanannya  membawa sebuah kantong yang berisi undangan pernikahan kami. Baru dua langkah menyeberang tiba-tiba dari arah kanan kami sebuah mobil melaju kencang. Kecelakaanpun tak terhindar, sebelum mobil itu menabrak kami Banyu masih sempat mendorongku ke belakang. Aku hanya terduduk dipinggir trotoar. Dengan nanar aku menatap undangan kami yang bertebaran dijalan. Beberapa diantaranya terkena noda darah. Otakku masih belum menangkap apa yang terjadi hingga akhirnya kerumunan orang membuatku sadar aku kehilangan Banyu. Aku menghampiri tubuhnya yang terkulai. Darah terus mengucur dari kepalanya. Aku memeluknya hingga akhirnya aku pingsan.

            Sudah setahun berlalu namun aku masih berharap Banyu akan pulang. Aku menangis sejadinya dan memeluk ibu.

            Hujan masih turun dengan derasnya. Aku melepaskan pelukan ibu dan berlari turun. Aku terus berlari ditengah hujan menuju halte bus itu. Dari seberang jalan aku menatap kea rah sana kosong. Aku merindukan Banyu. Hujan semakin deras dan senjapun menghampiri. Aku masih berdiri menatap halte bus itu. Samar aku melihat bayangan seorang pemuda berdiri di tengah hujan. Potongan rambutnya yang ikal, matanya yang teduh, senyumnya yang membuatku candu. Ya, Banyu. Aku dapat melihat dia melambaikan tangan. Aku mengejarnya hingga tiba-tiba suara mesin mobil mengagetkanku. Aku menyentuh aspal jalan. Aku masih dapat mendengar kerumunan orang mendekatiku hingga akhirnya aku merasakan tubuhku ringan. Melayang. Aku merasakan seserang menyentuhku, memelukku dari belakang. Aku berbalik. Banyu. Dia tersenyum, aku menangis. Kami berpelukan di bawah hujan.

***

Menantimu tidak seperti menanti hujan dikala mendung
Aku menanti hujan karena aku tahu disaat mendung hujan pasti datang
Entah datang terlalu cepat, atau kah datang terlambat
Namun menantimu aku seperti menerka waktu

Aku tidak akan tahu kapan kamu datang menjemputku


No comments:

Post a Comment